AAA - Berbicara untuk memahami Kebudayaan
Dayak Maanyan sekarang bukanlah mudah. Perubahan begitu cepat yang telah
dialami suku ini terutama setelah lebih setengah abad berlalu. Nilai -nilai
telah bergeser dan berubah, karena pengaruh yang masuk ke tengah-tengah
masyarakatnya. Pengaruh Pemerintah Belanda, Jepang, zaman pergolakan hingga
tercapainya kemerdekaan bangsa kita, zaman Orde Baru dan setelah keruntuhan
orde baru sampai Pemerintahan saat ini.
Sumbangan berupa pemikiran terutama
bagi peminat serta bersedia mau membangun dan mengembangkan masyarakat Dayak
Maanyan sangat diharapkan pada masa ini. Terutama mendampingi mereka dalam
gejolak perubahan tajam meninggalkan kepercayaan lama dari benturan-benturan
yang mungkin merugikan. Jalan yang memungkinkan dengan memperhatikan sejarah,
adat kebiasaan dan budaya suku ini.
Menurut legenda turun temurun,
kelompok ini berasal dari Asia Selatan termasuk Proto Melayu. Dari ceritera
yang dituturkan oleh Wadian Matei dalam upacara kematian Marubia Kiyaen,
kelompok suku ini pernah melewati Sri Bagawan dan kota Lingga. Di dalam Kiyaen
itu, tidak pernah disebut-sebut nama-nama tempat di Sumatera dan Jawa. Kiyaen
adalah kisah perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan
bagian Utara memakai Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur
Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan,
ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin
menempati Tanah Gerogot selatan.
Dikisahkan bahwa rombongan utama
yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu
tempat yang bernama Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari
Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan jelas mengapa
kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang,
Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan)
dan kemudian Nan Sarunai. Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata
pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar
Arba di hilir Kelua sekarang. Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan,
terdiri dari 40 orang yang mempunyai keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan
pemerintahan pada masa itu adalah Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria
dan 12 orang Patis.
Ketika Nan Sarunai mencapai puncak
kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut
terkenal dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa". Sebagian
kecil penduduknya melarikan diri dan membangun tempat baru diberi nama
"Batang Helang Ranu". Karena tidak aman Batang Helang Ranu itupun
ditinggalkan, lalu menyebar ke daerah Barito Timur dengan pembagian Paju IV,
Paju X dan Banua Lima. Sekitar abad ke 16 datanglah Lebai Lamiyah
meng-Islamkan, kecuali Paju IV, sampai ke Kampung Sarapat. Itulah sebabnya di
daerah Paju IV masih ada Hukum Kematian dengan membakar tulang dan mayat.
Karena ajaran-ajaran agama Islam sangat berbeda dengan adat istiadat dan
kebudayaan mereka, maka kembalilah mereka ke status kepercayaan asli mereka
semula. Akibatnya disana sini ada perubahan termasuk tak ada "Mapui"
atau Pembakaran Mayat.
Penghujung abad ke 18 Belanda dapat
dengan mudah berkuasa atas kelompok yang sangat mencintai kedamaian dan
ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan.
Masih pada ujung abad itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh
Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Kristen merambat masuk melalui Kuala
Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun
1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto,
kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.
Dengan dibukanya sekolah tadi maka
daerah ini menerima perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian,
orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Kristen yang dikenal dengan "Ulun
Ungkup", sedang yang menjadi Islam karena perkawinan dan hal lain disebut
"Ulun Hakei". Kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya.
"Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan
berpasir. Jadi orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga
yang berpendapat dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan.
Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang
"Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan,
membuat perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan
dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, sekarang sudah merupakan tambahan nilai ekonomis.
Sebelum perang dunia kedua sudah
banyak keluar untuk mencari lahan baru dan lebih subur. Disamping hutan
merupakan sumber usaha tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan usaha membuat
perahu. Karena hutan semakin menipis, maka pertanda kemunduran bagi hidup dan
kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai
meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana. Ciri khas watak pada
umumnya sangat menyukai seni dan bahasa satra asli, lemah lembut bertutur kata,
suka merendah-rendah, dalam berbicara ceplas ceplos dan terus terang bila sudah
mengenal teman bicara. Agak mudah percaya, bila tertipu jadi pendendam. Suku
Dayak Maanyan sangat mempertahankan harga diri dan tidak suka mencari masalah.
0 Response to "Tentang Suku Dayak Maanyan"
Post a Comment
Bagaimana Pendapat Anda?